"Negara lain seperti Meksiko dan Filipina sudah melakukan penyesuaian terhadap regulasinya, keduanya mengakomodasi inovasi-inovasi terhadap teknologi terhadap operasi layanan. Di sisi lain kita harus mendorong perusahaan-perusahaan taksi untuk menguatkan sistemnya sehingga biaya taksi berkurang tanpa mengganggu profitabilitas mereka sebagai badan usaha," kata pengamat transportasi, Danang Parikesit saat berbincang dengan detikcom, Senin (14/3/2016) malam.
Danang kemudian menyarankan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk merevisi panduan tarif angkutan umum. Menurutnya, saat ini formula tarif itu sudah lama dan tidak sama dengan kondisi saat ini.
"Kemenhub harus melakukan assessment lagi karena pada saat penyusunan formula itu tidak sama dengan kondisi saat ini, sehingga memang baik layanan taksi maupun layanan angkutan berbasis IT bisa ketemu gerakan konvergen namanya. Itu akan tidak ada bedanya lagi antara layanan berbasis taksi atau aplikasi, yang membedakan hanya tanggung jawab perlindungan pemerintah terhadap konsumen saja," imbuhnya.
Danang kemudian menjelaskan bahwa masyarakat perlu diedukasi untuk mengetahui plus minus menggunakan kedua moda transportasi ini. Menurutnya taksi konvensional mahal karena ada biaya birokrasi untuk perizinan dan lain sebagainya.
"Kita juga tahu sebenarnya kebebasan membuat perjanjian dilindungi UU kita, jadi kalau orang membuat perjanjian pengangkutan itu dia dilindungi cuma memang transaksi itu pribadi jadi memang negara tidak masuk memberikan perlindungan ke konsumen. Ini yang membedakan taksi misalnya ada izin dan sebagainya itu, sedangkan ini transaksi pribadi yang tidak ada perlindungan kepada pengguna maupun penyedia layanan angkutan. Ini yang membedakan, cuma memang masyarakat harus diedukasi mengenai plus minus penggunaan itu. Kalau misal pakai taksi ada pemerintah yang melindungi dia dari wanprestasi, pakai taksi aplikasi kalau terjadi kegagalan keselamatan itu tanggung jawab masing-masing," paparnya.
"Sebaiknya taksi (konvensional) kan dia bisa menggunakan sistem IT juga supaya kalau nyari taksi bisa dalam waktu 3 menit sampai. Identitas dari pengemudi taksinya bisa dipasang juga di gadgetnya jadi bisa saling menilai juga. Kalau di Uber kan kita bisa menilai penumpang kan, kalau pengemudi bisa menilai penumpang, penumpang bisa menilai pengemudi jadi transaksinya diharapkan fair," sambungnya.
Lebih lanjut, Danang menjelaskan tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Uber atau Grab karena mereka operator yang memfasilitasi transaksi pengguna dan penyedia layanan angkutan. Menurutnya pihak Kemenhub harus berbenah dan menyediakan transportasi yang memadai bagi masyarakat.
"Sebenarnya Pak Presiden sendiri kan sudah memberikan satu arahan yang jelas ya bahwa Kementerian Perhubungan harus memperbaiki layanan angkutan umum yang reguler dan konvensional itu. Itu paling pokok, tugas pokoknya di sana. Ini harus diurusin dulu secara gradual selama kita belum bisa memberikan angkutan yang baik dan menguntungkan masyarakat selama diakomodasi kan tidak merugikan hukum. Tidak ada pelanggaran hukum di situ, transaksi dilindungi UU, kemudian kebebasan berkontraknya dilindungi UU. Sama juga kadang minta tolong orang mengantar barang, mengantar kita beri uang bensin, sama juga dengan belanja online kan tidak ada masalah," tandasnya.
Sementara itu Menhub Ignasius Jonan menegaskan Uber dan Grab harus mengantongi izin resmi sebagai transportasi publik. Keduanya harus memiliki NPWP dan kendaraan yang digunakan harus lolos uji kir."Ini bukan soal aplikasinya. Transportasi umum ya harus ngurus izin transportasi umum," kata Jonan.
Namun Jonan menegaskan, perizinan transportasi umum merupakan kewenangan Pemerintah Daerah. Termasuk pengujian kir kendaraan, merupakan wewenang Dinas Perhubungan, bukan Kemenhub.
"Nah itu izinnya gimana, tanyakan ke Pemda," katanya.
(dhn/dhn)
Judul asli: "Taksi Aplikasi Terancam Diblokir, Pemerintah Diminta Sesuaikan Regulasi Baru"
Sumber : detik.com